Apakah takdir bisa diubah?
Apakah doa bisa mengubah takdir? Saat sekolah dulu, saya ingat pada pelajaran agama. Diterangkan ada takdir yang bisa diubah dan ada takdir yang tidak bisa diubah. Takdir yang tidak bisa diubah yaitu seperti rezeki, jodoh dan mati. Pernah suatu kali saya menanyakan pada salah satu guru agama saya di SD, ”Mengapa takdir itu tidak bisa diubah?”. Saat itu guru saya menjawab, ”Kalau takdir merupakan ketentuan Allah dan takdir itu merupakan salah satu rukun iman jadi kita harus mempercayainya.” Sebenarnya saat itu saya merasa masih belum puas dengan penjelasan guru saya saat itu, tetapi karena saat itu saya merasa masih banyak yang perlu dipelajari hingga saya merasa nantinya saya juga bisa mampu memahami, saya berhenti menanyakannya. Di SMP, SMA bahkan perguruan tinggi pun ada mata kuliah agama walaupun cuma 2 SKS, saya ketemu kembali dengan pelajaran tentang takdir. Pemahaman dari pelajaran tentang takdir yang saya terima saat itu masih sama seperti pada waktu yang saya terima pada waktu SD.
Sampai suatu kali pada saat saya masih kuliah di Semarang, saya mengalami sesuatu yang penting. Seseorang yang ada di Jakarta yang sebenarnya menurut saya saat itu dia bersalah, seakan-akan seperti membela diri, merasa tidak bersalah dengan tindakannya, dengan mengatakan, ”Kamu percaya takdir nggak sih?”. Jiwa dan hati saya saat itu ingin berteriak. Mengapa suatu kesalahan dianggap suatu takdir yang alih-alih sebagai pembenaran. Sebenarnya bagaimana sih takdir itu? Lalu buat apa berdoa kalau sudah ada takdir? Saya menjadi malu rasanya saat itu, bukan pada orang itu tetapi pada Allah SWT. Ternyata selama ini pemahaman ilmu agama saya cuma berada di permukaan. Padahal kita tahu takdir merupakan salah satu rukun iman Islam. Dasar pondasi ilmu Islam yang seharusnya terlebih dulu kuat, kalau kita memang mengakui sebagai seorang muslim.
Saat itu saya jadi teringat juga dengan kata-kata candaan dari salah seorang teman saya yang kuliah di Al Azhar University, Mesir, yang acara favorit TV-nya yaitu Adzan Maghrib. ”Buat apa belajar Fisika? Bikin mumet dan ruwet. Makanya belajar tuh Al Quran dan Al Hadist”, kata teman saya saat itu. Teman saya itu sebenarnya sudah memahami benar, kalau temannya ini mungkin adalah salah satu orang yang dipilih dan diamanahi oleh yang Maha Kuasa untuk mendalami ilmu Fisika yang nantinya akan bisa ikut mengungkap tabir Al Quran dari ilmu Fisikanya dan bermanfaat buat umat, hehe...amin..3x.
Kembali kepada pembahasan takdir lagi ya. Akhirnya mulai saat itu saya berburu mencari ilmu tentang takdir. Saya merasa ada begitu banyak yang belum saya memahaminya, termasuk sampai sekarang pun saya masih merasa masih belum puas. Saya merasa setiap memahami suatu tahap tertentu ternyata masih banyak hal yang belum saya ketahui.
Dari pengajian-pengajian, buku-buku, internet atau orang-orang yang mumpuni dalam hal agama, saya coba hubungi atau bahkan saya datangi. Pernah ada sebuah buku yang belum diterbitkan tapi saya sudah tahu iklannya kalau akan diterbitkan, saya berusaha menghubungi penerbitnya untuk segera mendapatkan bukunya. Sampai-sampai dikira pengusaha toko buku yang mau borong bukunya, padahal cuma mau beli satu buku saja. Perburuan dan semangat ingin tahu saya saat itu jauh melebihi ketika saya sedang menggarap skripsi. Saat itu saya merasa sedang sangat membutuhkan cahaya terang yang seakan-akan saya seperti sedang tersesat berada di hutan belantara yang gelap gulita. Saya makin menyadari manfaat ilmu yaitu sebagai cahaya perjalanan kehidupan kita agar kita bisa termasuk golongan orang yang selamat dan bahagia di dunia ini bahkan sampai di akhirat nanti. Seperti kita tahu Islam berasal dari kata aslama yang berarti selamat. Semoga kita termasuk golongan orang yang selamat dan bahagia di dunia hingga sampai di akhirat, amin...3x.
Selama ini ternyata kita terkukung di dalam pemikiran yang kurang benar atau tepat, yang menurut saya bukan pemikiran seorang islam yang benar-benar islam dan malahan membuat kita jadi tidak maju. Saya baru menyadarinya, mengapa kita khususnya orang Indonesia lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan negara-negara yang maju. Ini terjadi karena salah satu kesalahannya ada di pikiran kita sendiri. Pemikiran yang telah tercipta sejak dulu kala. Pemikiran yang mengatakan misal seperti ”Kalau takdirnya melarat (miskin) ya seumur-umur melarat (miskin), wes nrima wae (dah terima aja).” atau ”nrima ing pandum wae”. Pemikiran-pemikiran atau doktrin-doktrin yang seakan-akan checkmate atau harga mati, yang tidak bisa diubah. Padahal pemikiran yang benar yang berasal dari pemahaman keimanan yang benar pula yang merupakan salah satu unsur pondasi SDM (Sumber Daya Manusia) yang bisa bikin manusia atau suatu bangsa maju.
Nasib seseorang mencerminkan karakter, sementara karakter berasal dari kebiasaan serta tindakannya, dan tindakan berasal dari pikiran yang bermuara dari perasaan. Ilustrasi sederhananya adalah perasaan => pikiran => tindakan => kebiasaan => karakter => nasib. Nasib, karakter, kebiasaan adalah sesuatu yang tampak, sementara pikiran dan perasaan adalah energi kuantum yang tak tampak.
Takdir kita bagaimana nantinya hanya Allah lah yang Maha Mengetahuinya.
Takdir memang ada dua, takdir yang bisa diubah dan takdir yang tidak bisa diubah. Takdir yang bisa diubah yaitu rezeki, jodoh, mati dan lainnya. Takdir yang tidak bisa diubah yaitu takdir jenis kelamin. Kalau seorang laki-laki mengubah jenis kelamin menjadi wanita dengan cara dioperasi pun, ya dia tetap laki-laki juga.
Pada saat kita berumur 4 (empat) bulan berada di dalam kandungan ibu, ditulislah tentang kehidupan kita tentang rezeki, jodoh, mati dan amal. Amal ternyata sudah ditentukan pula selama kita berada di dunia ini. Bagaimana dengan di akhirat nanti jika amal yang sudah tertulis tidaklah cukup untuk timbangan di akhirat? Takdir yang bisa diubah itu dapat diubah dengan cara berdoa, usaha (ikhtiar) dan sodaqah.
”Tidak ada yang menolak takdir kecuali doa”, (H.R Ahmad).
”Allah Menghapuskan apa yang Dia Kehendaki dan Menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mamfuzh)”, (Q.S. 13:39).
Sebenarnya banyak hal ayat-ayat alquran atau hadis yang mendukungnya. Nah loh, kita makin bisa lebih beriman dan cinta ma Allah kan? Setelah kita makin lebih mengetahui ilmunya. Kalau Allah Maha Bijaksana, Allah Maha Mengetahui usaha hamba-hambanya dan Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya.
Semoga kita menjadi hamba Allah yang selalu mempunyai semangat beribadah, berusaha, berdoa dan beramal demi kehidupan kita yang makin lebih baik di dunia dan di akhirat, amin...3x.
Maaf, kalau tulisan saya ini ada yang salah atau ada kekeliruannya. Masukan dan kritikan dengan senang hati saya akan menerimanya. Terimakasih.